Untuk memahami bagaimana demokrasi itu, akan mudah jika dilihat
variasi praktik kehidupan bernegara. Hal itu dapat dilihat dari pola
kehidupan di berbagai Negara yang ada. Dan, perjalanan hidup bernegara
kita di Indonesia juga bisa memberikan gambaran bagaimana dinamika
kehidupan demokrasi itu. Meskipun sejak awal Indonesia menyatakan diri
sebagai negara demokrasi, praktiknya kita pernah mengalami masa-masa
pemerintahan yang otoriter dan bahkan totaliter. Jika sekarang katanya
keran demokrasi telah dibuka, benarkah Indonesia sudah demokratis?
Hernawan dan Masdar (2000) mengklasifikasi jenis-jenis negara dan bentuk kehidupannya seperti di bawah ini.- NEGARA OTORITER (authoritarian state), contohnya adalah negara berbentuk dalam kerajaan (Arab, Kuwait) dan junta militer (Myanmar). Cirinya adalah:
- Rakyat tidak boleh berpolitik, tidak boleh membuat partai
- Opisisi tidak dibolehkan, mengkritik pemerintah dilarang
- Pemerintah mempunyai kepentingan sangat kecil terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari
- NEGARA TOTALITER (totalitarian state), contohnya adalah
negara yang dipimpin oleh penguasa-penguasa totaliter seperti Hitler
(Jerman), Joseph Stalin (Uni Sivyet), Duvalier (Haiti). Cirinya adalah:
- Pemerintah mempunyai kekuasaan tidak terbatas
- Pemerintah tidak mentoleransi oposisi
- Pemerintah mengokontrol ketat warga negaranya
- Pemerintah totaliter bisa berbentuk (1) rezim otokrasi (pemerintah oleh kelompok kecil), (2) rezim diktator (pemerintah oleh 1 orang)
- NEGARA DEMOKRATIS adalah Negara dengan suatu pemerintahan yang membolehkan warga memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan serta memilih/menolak pemimpin-pemimpin politik
Pemahaman dasar dari demokrasi, yang paling terkenal adalah yang
diletakkan oleh Abraham Lincoln (1809-1865). Lincoln adalah Presiden
Amerika Serikat. Menurut catatan Ensiklopedi Indonesia (1983), dalam
perang saudara yang terjadi di AS, ia menunjukkan kebesaran
kepemimpinannya. Pada 1 Januari 1863 ia menandatangani Proklamasi
Emansipasi yang berisi penghapusan perbudakan. Ia juga berupaya supaya
penghapusan itu dinyatakan dengan Undang-undang dasar oleh Congress dan
usaha itu tercapai pada 1865. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang
terlontar dalam pidato-pidatonya yang hebat. Beberapa pidatonya yang
masyur adalah pidato yang disampaikannya di makam Gettysburg (19
November 1863) dan pidato pelantikannya yang kedua (4 Maret 1865)
Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (government of the people, by the people, for the people) yaitu sebagai berikut:- Pemerintahan dari rakyat (government of the people). Artinya keputusan-keputusan politis yang menyangkut kehidupan rakyat ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, caranya adalah rakyat memilih pemimpin (presiden, gubernur, bupati) dan DPR melalui PEMILU yang bebas dan fair (jurdil). Pemimpin dan DPR yang terpilih lewat PEMILU yang bebas dan fair mendapat mandate secara sah oleh rakyat (memiliki legitimasi yang kuat).
- Pemerintahan oleh rakyat (government by the people). Hal itu berarti Pemerintah dijalankan oleh rakyat (oleh pemerintah yang dipilih rakyat) dan rakyat mengawasi jalannya Pemerintah itu. Di Indonesia, pengawasan itu dilakukan oleh DPR/D hasil pilihan rakyat (DPR bersama eksekutif bersama-sama membuat Undang-undang dan DPR mengawasi jalannya pelaksanaan Undang-undang).
- Pemerintahan untuk rakyat (government for the people). Artinya, pemerintah hasil pilihan rakyat menghasilkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah yang tidak demokratis adalah pemerintah yang mementingkan diri sendiri, mau berkuasa terus, dan korup.
Dalam sejarah dan praktik demokrasi, berkembanglah pengertian-pengertian yang berkaitan dengan demokrasi sebagai berikut (Hernawan dan Masdar, 2000).
- DEMOKRASI PROSEDURAL (aturan dan tata cara demokrasi), yaitu demokrasi merupakan sistem yang ditegakkan oleh prosedur-prosedur formal yang memungkinkan budaya demokrasi itu berjalan. Aspek prosedural demokrasi itu mencakup adanya PEMILU yang bebas dan adil, adanya DPR, dan adanya lembaga yudikatif yang independen.
- DEMOKRASI LANGSUNG (direct democracy). Adalah bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Keputusan politik ditentukan oleh warga masyarakat secara langsung dalam suatu pertemu
- DEMOKRASI SUBSTANSIAL (nilai hakiki demokrasi), yaitu menekankan demokrasi sebagai suatu nilai-nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya. Beberapa nilai hakiki demokrasi adalah seperti kebebasan, budaya menghormati hak dan kebebasan orang lain, adanya pluralisme budaya, adanya toleransi, anti kekerasan, dll.
- an. Hal itu hanya dimungkinkan terjadi/dilakukan dalam masyarajat kecil. Misalnya, dalam sejarah, dilakukan di negara-kota Yunani kuna. Sekarang dapat juga dilakukan misalnya di kampung atau desa yang kecil. Di tingkat nasional terkadang dilakukan juga jika menyangkut masalah mendasar, bentuknya referendum.
- DEMOKRASI TIDAK LANGSUNG (indirect democracy). Adalah bentuk pemerintahan di mana pembuatan keputusan politik dijalankan oleh sedikit orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu.Disebut “tidak langsung” karena rakyat tidak langsung terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan itu, tetapi mendelegasikan kekuasaannya kepada para pemimpin dan wakil rakyat yang mereka pilih lewat pemilu
Nilai-nilai Demokrasi menurut Mayo adalah sebagai berikut (Bahar, 2005; Abdullah Yazid dkk, 2007):
- Penyelesaian perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peaceful settlement pf conflict)
- Terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a change society)
- Terselenggaranya pergantian pimpinan teratur (orderly succession rulers)
- Pembatasan kekuasan sampai minimum (minimum of coersion)
- Pengakuan keanekaragaman (diversity) dan menganggap wajar adanya keanekaragaman itu di dalam masyarakat
- Jaminan tegaknya keadilan
- Pemerintahan yang bertanggungjawab
- Adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih lewat pemilu
- Sistem politik multi partai yang dapat menyelenggarakan hubungan kontinu antara masyarakat dan pemimpinnya
- Pers yang bebas
- Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin HAM. Hubungan antara HAM dan demokrasi adalah hubungan MUTUAL RE-ENFORCING, saling memberkuat. Kemajuan kerja politik akan memperkuat perlindungan HAM. Perlindungan HAM akan memperkuat demokrasi. Kemunduran demokrasi akan mempersulit kemajuan HAM dan pada gilirannya akan memerosotkan demokrasi itu sendiri
Membangun negara demokrasi ternyata tidak mudah. Hal itu karena
praktek demokrasi berkaitan langsung dengan sistem politik atau sistem
kekuasaan yang bertumbuh dalam sebuah negara. Sejarah mencatat bagaimana
para pemimpin atau rezim yang berkuasa cenderung mempertahankan
kekuasaannya dan untuk itu melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan
dengan asas-asas demokrasi. Apalagi ketika kekuatan rezim ditopang oleh
kekuatan militer, rakyat menjadi obyek kekuasaan semata.
Pembangunan demokrasi sebenarnya dimaksudkan untuk tujuan-tujuan sebagai berikut Hernawan dan Masdar (2000).
- Menyelesaikan persoalan secara damai dan melembaga
- Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai
- Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur
- Membatasi pemakaian kekerasan (demokrasi selalu anti kekerasan)
- Mengakui dan mengaggap wajar adanya keanekaragaman dan perbedaan dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, pilihan, dst
- Menjamin tegaknya keadilan
- Pemerintahan yang bertanggungjawab
- DPR yang dipilih lewat pemilu yang jurdil
- Sistem dwi partai atau lebih baik multi partai
- Pers yang bebas
- Sistem peradilan yang bebas dan mandiri
Peran pers sangatlah penting dalam proses demokrasi. Sekarang pers
disebut-sebut sebagai salah satu pilar demokrasi sebab melakukan
fungsinya yang sangat penting sebagai lembaga pengontrol pemerintah dan
pengawal jalannya demokrasi itu sendiri. Karena itu tidak heran jika
dalam pemerintahan yang tidak demokratis pers – misalnya media cetak –
sering dibreidel dan diberangus. Bahkan para jurnalis yang kritis
diancam dan dibunuh.
PERUBAHAN SOSIAL-POLITIK MENUJU DEMOKRASI
Pembangunan kehidupan yang demokratis pada dasarnya merupakan sebuah
proses perubahan sosial/masyarakat. Hal itu berarti membutuhkan
agen-agen perubahan (agents oc change) yang memelopori dan
menggerakkan perubahan tersebut. Harus ada para pemimpin yang
melancarkan pengaruhnya sekaligus memiliki kewenangan strategis untuk
membawa perubahan itu.
Seringkali pembangunan demokrasi merupakan sebuah perubahan harus
mendisorganisasi sistem-sistem yang ada untuk kemudian direorganisasi
menjadi sistem-sistem yang baru. Hal itu seringkali sangat tidak mudah
karena sistem lama, misalnya sistem politik otoriter dan totaliter sudah
sedemikian kuat dan mengakar. Maka kadang dibutuhkan pemberontakan dan
revolusi yang bisa merupakan proses penggulingan kekuasaan atau
perebutan kekuasaan oleh rezim demokrasi yang baru.
Hernawan dan Masdar (2000) menjelaskan adanya beberapa pola
perkembangan masyarakat/bangsa menuju kehidupannya yang demokratis. Ada 4
model perkembangan yaitu:
- POLA TRANSFORMASI (Spanyol dan Brazil). Dalam pola ini, demokrasi terbangun karena pemimpin yang berkuasa mengambil prakarsa untuk menumbuhkan demokratisasi.
- POLA REPLACEMENT (Argentina, Portugal). Dalam pola ini, kelompok opisisi memimpin pembaruan demokrasi melalui perjuangan politiknya.
- POLA TRANSPLACEMENT (Nikaragua, Polandia, Bolivia). Dalam pola ini, demokratisasi terjadi sebagai akibat negoisasi antara pemerintah dengan kelompok oposisi.
- POLA INTERVENSI (Grenada, Panama). Dalam pola ini, lembaga-lembaga demokratis dibentuk dan dipaksakan berlakunya oleh aktor dari luar
Sekarang, hampir semua orang berbicara tentang demokrasi. Secara
substansial memang demokrasi adalah sistem yang terbaik. Proklamator RI
Muhammad Hatta mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem terbaik yang
memungkinkan segenap rakyat di suatu bangsa bisa menentukan nasibnya
sendiri. Menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), demokrasi
adalah sistem yang menjunjung hak-hak dasar manusia atas kehidupan.
Seringkali, juga terjadi di Indonesia, pembaruan demokrasi hanya
menekankan aspek proseduralnya dan bukan substansinya. Kita merasa sudah
demokratis manakala sibuk menggelar pemilu, pilpres, pilkada, pilgub,
pilbub dan seterusnya. Padahal praktik demokrasi prosedural tidak
selamanya identik dengan penerapan substansi dari demokrasi itu sendiri.
Meskipun prosedur itu dipraktekkan secara begitu masif, belum tentu
kehidupan (substansi) demokrasi itu benar-benar mewujud. Apalagi jika
pemilu itu dijalankan dengan berbagai kecurangan dan manipulasi. Itulah
sebabnya pula banyak yang golput dan memboikot pemilu yang berarti
rakyat tidak sepenuhnya terlihat dalam pembentukan pemerintahan.
Menurut Hernawan dan Masdar (2000), penekanan berlebihan pada
demokrasi prosedural dengan kurang memperhatikan aspek substansi
demokrasi itu memunculkan beberapa bahaya sebagai berikut.
- DEMOKRASI PALSU. Demokrasi prosedural sering dimanfaatkan oleh rezim otoriter untuk mengklaim demokratis dengan melaksanakan pemilu, padahal pemilunya itu direkayasa. Rezim semacam itu seolah-olah melaksanakan pemilu tetapi selalu dimanipulasi dan direkayasa sedemikian rupa sehingga pemimpin terpilih selalu itu-itu saja.
- POLITIK UANG (money politic). Ini sering terjadi karena kelompok (-kelompok) yang haus kekuasaan mencoba mengendalikan rakyat melalui penyogokan berupa uang atau materi lainnya.
- KETIDAKADILAN. Pada 1970, John Rawls mengkritik demokrasi (”A Theory of Justice), pandangannya: (1) Tujuan pemerintah adalah membentuk masyarakat yang adil (just society) dengan ciri banyak warga Negara yang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, (2) Adapun pemilu belum tentu bisa membentuk kehidupan masyarakat yang adil karena pemilu hanya menghasilkan pemerintahan oleh segelintir orang (oligarkis)
- KAPITALISME. Demokrasi prosedural diduga merupakan penopang utama pasar kapitalisme internasional yang sangat menguntungkan kelompok elit (baik elit politik maupun elit pemilik modal). Jadi, proses demokrasi merupakan proses ekspansi kapitalisme internasional. Karena itu negara-negara kapitalis sangat mendukung demokrasi prosedural.
DEMOKRASI DAN MILITER
Sebagian orang memandang bahwa demokrasi dan militer tidak cocok. Dalam tradisi militer, keputusan selalu diambil secara top down,
komando dari atasan. Sedangkan tradisi demokrasi adalah membebaskan
semua orang, seluruh masyarakat berbicara dan berembug bersama.
Kebijakan-kebijakan pun berasal dari bawah (bottom up) dan atasan adalah abdi rakyat.
Karena itu menurut Hernawan dan Masdar (2000), ada adagium universal
tentang demokrasi mengatakan bahwa akan semakin baik jika militer tidak
terlibat terlalu jauh dalam dunia politik. Militer hanya mengurusi soal
pertahanan negara dan bukan menjadi kekuatan politik.
Namun tentunya tidak berarti kalau pemimpinnya berasal dari kalangan
militer maka negaranya pasti otoriter. Hal itu sangat tergantung dari
situasi, kondisi, dan perkembangan yang ada.
DEMOKRASI DAN AGAMA
Dalam negara agama (teokrasi), demokrasi tidak dikembangkan karena
kekuasaan dan wewenang bersifat komando dari atas. Pemimpin dianggap
sebagai wakil Tuhan dan diberi kekuasaan penuh. Rakyat atau umat
hanyalah boleh taat kepada pemimpin yang bersifat karismatis itu.
Menurut catatan Hernawan dan Masdar (2000), demokrasi di negara-negara berbasis agama tidak berkembang subur karena:
- Banyak negara agama tidak memiliki parlemen, kalaupun ada hanya sebagai lembaga konsultatif saja, tidak menjalankan fungsi legislatif (membuat/mengajukan undang-undang)
- Banyak negara agama tidak mempunyai partai politik
- Banyak negara agama tidak memberi hak pilih bagi perempuan
DEMOKRASI DAN HUKUM
Menurut Daliyo dkk (1989), hukum pada dasarnya adalah (1) peraturan
tungkah laku manusia, (2) yang diadakan oleh badan-badan resmi yang
berwajib, (3) yang bersifat memaksa, harus dipatuhi, (4) dan memberikan
sanksi tegas bagi pelanggar peraturan tersebut (sanksi itu pasti dan
dapat dirasakan nyata bagi yang bersangkutan).
Dengan demikian, negara hukum adalah negara di mana setiap tindakan
dari pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara terhadap rakyatnya
harus berdasar hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat /
wakilnya dalam badan perwakilan rakyat
Negara hukum memungkinkan demokrasi berjalan karena hukum yang baik pastilah menjamin hak-hak asasi (HAM) masyarakat.
Dari konsep tentang negara hukum itu muncullah konsep tentang
DEMOKRASI KONSTITUSIONAL, artinya demokrasi modern selalu hadir dalam
wadah negara hukum dengan beberapa prinsip sebagai berikut (Hernawan dan
Masdar, 2000)
- Ciri demokrasi konstitusional adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat/warga negara
- Jadi, dalam Demokrasi konstitusional, “pemerintah berdasar konstitusi” (constitutional government) atau ”pemerintah dengan kekuasaan terbatas” (limited government / restrained government)
DEMOKRASI DAN PEMILU
Demokrasi mempunyai dua aspek, substansial (nilai hakiki) dan
prosedural (prosedur pelaksanaannya). Pemilu adalah aspek demokrasi
prosedural yang mempunyai tujuan sebagai berikut (Hernawan dan Masdar,
2000):
- Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum
- Sebagai mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan perwakilan rakyat sehingga integrasi masyarakat terjaga
- Sebagai sarana memobilisasikan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Munculnya Dewan Perwakilan Rakyat adalah manifestasi
dari demokrasi itu. DPR adalah lembaga yang anggota-anggotanya dipilih
oleh rakyat melalui pemilu untuk menjalankan aspirasi mereka dengan
tugas membuat undang-undang dan mengawasi pemerintah yang menjalankan
undang-undang itu
Ada 2 sistem parlemen
- Badan legislatif yang terdiri dari 1 majelis (unikameralisme)
- Badan legislatif yang terdiri dari 2 majelis (bikameralisme)
- Di sini lembaga legislatif dibagi dalam Majelis Rendah (lower house) dan Majelis Tinggi (upper house atau senat)
- Negara federal bisa memakai sistem bikameral karena satu di antaranya mewakili kepentingan negara-negara bagian
DEMOKRASI DAN KEADILAN GENDER
Demokrasi pada prinsipnya adalah sistem pemerintahan yang dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini kaum wanita sering
merupakan bagian dari rakyat yang kurang dilibatkan karena berbagai
alasan. Di beberapa negara bahkan wanita tidak diberi hak untuk memilih
dalam pemilu. Karena itu hak-hak keterlibatan wanita dalam demokrasi
harus diperjuang dengan berbagai cara seperti mendirikan parpol wanita
atau menuntut sistem quota di mana posisi-posisi dalam lembaga-lembaga
negara diisi oleh kaum perempuan.
Dalam hal kemajuan pergerakan perempuan, keterlibatan wanita dalam
politik, dan keterwakilan wanita dalam parlemen, kita perlu belajar
banyak dari Swedia dan India. Perjuangan di Swedia memang sudah lama.
Pada tahun 1884 sudah ada diskusi tentang hak pilih dan kemungkinan
wanita duduk di parlemen. Pelopor pejuang hak politik kaum wanita Swedia
ternyata justru seorang pria bernama Fredrik Borg. Pada tahun
1970, kuota perempuan dalam parlemen Swedia adalah 10%. Pada Pemilu
1988, 131 orang dari 349 anggota parlemen Swedia adalah perempuan (38%).
Pada tahun 2002, naik menjadi 45%, berarti lebih tinggi dibanding di
Amerika Serikat dan Inggris. Kini, hampir 50% menteri di Swedia adalah
wanita. Bahkan, Menteri Pertahanan pun adalah seorang perempuan.
Keterlibatan aktif kaum wanita di kancah politik terbukti meningkatkan
kesejahteraan dan keadilan gender di negeri feminis tersebut.
India juga masih lebih maju ketimbang Indonesia. Kaum wanita
memperjuangkan hak-hak politik mereka melalui jalur konstitusi. Kita
perlu meniru, sebab di India sudah berkembang perundang-undangan yang
secara sangat tegas menjamin hak-hak kaum wanita dan mendorong
keterlibatannya dalam politik nasional. Pada tahun 1976 berdiri komite
khusus untuk wanita (Committee on the Status of Women in India)
yang memperjuangkan keadilan sosial-ekonomi kaum wanita dan
keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik. Pada tahun 1988,
visi mereka diakomodir oleh Pemerintah dan diimplementasikan dalam
Perencanaan Nasional untuk Perempuan (National Perspective Plan for Woman).
Sementara itu, Amandemen Undang-undang Dasar India pada tahun 1993
menyertakan jaminan untuk kuota 30% perempuan dalam lembaga-lembaga
pemilihan publik.
(cuplikan artikel opini Haryadi Baskoro yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 22 Desember 2008)
DEMOKRASI DAN OPOSISI
Dalam negara yang bersifat otoriter dan totalitas, semua pihak yang
berseberangan apalagi melawan pemerintah dilarang dan ditumpas.
Demonstrasi tidak diperbolehkan. Pers dan tulisan-tulisan yang bersifat
mengkritisi pemerintah dibreidel. Tidak boleh ada golongan atau kelompok
oposisi.
Dalam sistem demokrasi, opisisi dibolehkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut (Hernawan dan Masdar, 2000)
- Sikap,yaitu sikap-sikap kritis yang memungkinkan suatu kekuasaan dijalankan dan dialokasikan untuk kepentingan yang sesuai dnegan kehendak si pemberi kekuasaan (rakyat).
- Institusi, yaitu oposisi yang terlembagakan dalam partai-partai politik (partai opisisi) Partai opisisi dapat melakukan (1) Kritik terhadap pembuatan kebijakan yang menyimpang, (2) Kontrol terhadap perbuatan kebijakan yang menyimpang, (3) Mendukung kebijakan yang baik, jadi tak selamanya berarti melawan pemerintah
DEMOKRASI DAN PERS
Sekarang dikenal teori baru tentang 4 pilar demokrasi di mana pers merupakan salah satunya. Keempat pilar demokrasi itu adalah:
- Lembaga Eksekutif
- Lembaga Legislatif
- Lembaga Yudikatif
- PERS
- Fungsi mediasi. Aspirasi rakyat yang tidak bisa diartikulasikan oleh lembaga-lembaga formal demokrasi bisa diartikulasikan lewat pers
- Fungsi sosialisasi. Kebijakan pemerintah yang tidak bisa disosialisikan secara cepat melalui lembaga-lembaga milik pemerintah bisa disosialisasikan lewat pers
- Fungsi kontrol. Fungsi kontrol parlemen yang tidak maksimal ditutup oleh fungsi kontrol yang dijalankan pers
Mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia, berikut ini adalah
beberapa poin yang disarikan dari Hernawan dan Masdar (2000) serta M. C.
Ricklefs (2008) sebagai berikut.
- Para pemimpin Indonesia, yaitu dwi tunggal proklamator RI (Soekarno-Hatta) sebenarnya mempunyai dua pendirian yang berseberangan. Kubu Soekarno lebih menekankan paham kesatuan bangsa (integralisme) yang cenderung menolak demokrasi karena sistem parlementer Barat dianggap sebagai bentuk tirani mayoritas dan demokrasi borjuis. Soekarno ingin adanya sistem partai tunggal. Sedangkan kubu Hatta menekankan prinsip kedaulatan rakyat dan kebebasan yang nyata yang terjelma dalam sistem parlementer.
- DEMOKRASI PARLEMENTER (1945-1959). Sistem ini berkembang berkat usaha bung Hatta. Pada 3 Nov 1945, Hatta mengeluarkan maklumat berisi seruan untuk membentuk partai-partai politik (sistem multi partai) dengan tujuan mempertahankan kemajemukan bangsa. Demokrasi parlementer ini dilegitimasi dan diperkuat dengan UU RIS 1949 dan UUDS 1950. Masalahnya, elit politik tak siap dengan pola demokrasi itu, terlalu banyak konflik kepentingan sehingga (1) koalisi parpol yang dibangun tidak pernah solid, (2) parpol mudah sekali menarik dukungan terhadap koalisi yang sudah dibangun, (3) golongan opisisi cenderung hanya bersikap negatif. Demokrasi parlementer berakhir karena dirasa tidak membawa kebaikan, konflik tiada henti, ekonomi terpuruk, dan masalah dasar negara tidak pernah final. Maka, Soekarno dengan dukungan TNI AD mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (kembali ke UUD 1945)
- DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1965). Kekacauan akibat ketidaksiapan dan
ketidakdewasaan sipil dalam berdemokrasi pada era demokrasi parlementer
mendorong militer masuk ke dunia politik di mana Soekarno menjadi
pemimpin besarnya. Maka, demokrasi pada era 1959-1965 dicirikan oleh
dominasi yang sangat kuat dari Presiden (Soekarno) dan militer. Istilah
”demokrasi terpimpin” sebenarnya hanyalah sebuah istilah atau retorika
politik, prakteknya adalah penyimpangan demokrasi:
- Presiden Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup (Tap MPRS No. 3 tahun 1963)
- Pada 1960, Soekarno membubarkan DPR
- Presiden lalu membentuk DPR Gotong Royong (DPRGR) yang semua anggotanya diangkat Pemerintah dengan tugas membantu presiden (bukan menjalankan fungsi kontrol)
- Pimpinan DPRGR dijadikan menteri (bertentangan dengan azas trias politica)
- Presiden berwenang mengintervensi lembaga yudikatif (berdasar UU No 19 tahun 1964)
- Presiden berwenang mengintervensi lembaga yudikatif (berdasar Tata Tertib Peraturan Presiden No 14 tahun 1960)
- DEMOKRASI PANCASILA (1965-1999). Dengan alasan kegagalan sistem Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, Soeharto tampil dengan konsep barunya berupa Demokrasi Pancasila. Demokrasi Orde Baru ini lahir dari retorika politik bahwa Indonesia harus melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Secara prosedural, Demokrasi Pancasila sepertinya berjalan baik (ada pemilu, ada DPR, ada lembaga yudikatif, dan ada pers). Namun secara substansial, Demokrasi Pancasila ala Soeharto itu tak ada bedanya dengan Demokrasi Terpimpin yang otoriter. Bahkan menjadi sebuah ”demokrasi palsu” karena Pemilu yang diadakan periodik sudah direkayasa sehingga parpol tertentu selalu memang (mayoritas tunggal) dan Lembaga Yudikatif yang seolah independen ternyata di bawah kontrol pemerintah.Demokrasi Pancasila tumbang setelah Soeharto lengser pada 1998 dan muncul sistem pemilu multi partai (7 Juni 1999)
- DEMOKRASI MASA REFORMASI (1999-….). Sistem baru ini merupakan usaha untuk mengkoreksi sistem-sistem demokrasi yang pernah diterapkan, disalahgunakan, dan gagal di Indonesia. Demokrasi Reformasi ini dimulai dengan dikembangkannya sistem pemilu multi partai 7 Juni 1999 mirip pemilu 1955. Dalam perkembangannya, masih hanya menekankan aspek-aspek prosedural dan masih kurang mewujudkan substansi dari demokrasi itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar