Selamat Datang!

Selamat berkunjung, semoga anda senang.

This Is

My Project

Share My Experience

For All Of You

Selasa, 31 Mei 2016

PEMILU SEBAGAI INSTRUMEN DEMOKRASI

Tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi merupakan suatu asas dan sistem yang paling baik dalam sistem politik dan ketatanegaraan. Dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan, rakyatlah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu.
Namun dalam penerapannya kedaulatan rakyat itu tidak dapat berjalan secara penuh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga demokrasi tidak dapat berjalan secara penuh, salah satunya di Negara-negara yang jumlah penduduknya banyak dan dengan wilayah yang sangat luas, dapat dikatakan tidak mungkin untuk menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang dalam menentukan jalannya suatu pemerintahan. Akibatnya, kedaulatan rakyat tidak mungkin dapat dilakukan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistem perwakilan (representation).
Di dalam kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Dan dalam praktiknya, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat. Agar wakil-wakil rakyat benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, sehingga wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum (general election).
Salah satu perwujudan dari demokrasi adalah pemilihan umum, karena pada dasarnya pemilihan umum itu adalah pemilihan rakyat untuk memilih wakilnya dalam mengatur roda pemerintahan. Pemilihan umum merupakan anak kandung demokrasi yang dijalankan sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat dalam fenomena ketatanegaraan. Di Indonesia pemilihan umum merupakan instrument dari demokrasi itu sendiri.
Pemiluhan umum merupakan salah satu amanah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang harus dilaksanakan secara umum, langsung, bebas, rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil). Pemilu yang berkualitas dan demokratis dapat diwujudkan apabila dilaksanakan sesuai dengan asasnya. Adanya Pemilu yang berkualitas dan demokratis dapat mewujudkan tata kelola pemerintahaan yang baik (good governance) yaitu terimplementasinya prinsip-prinsip good governance berupa partisipasi masyarakat, penegakan hukum, transparansi, responsif, pemerataan, visi stratejik, efektifitas dan efesiensi, profesionalisme, akuntabilitas, dan pengawasan. Momentum pemilu 2009, harus menjadi arena untuk memilih wakil-wakil rakyat yang terpercaya, jujur, berdedikasi, cerdas, bermoral dan bertanggung jawab, serta pemimpin pemerintahan yang berani, tegas, teruji, dan mumpuni. Oleh karena itu, Pemilu 2009 menjadi instrumen membangun good governance serta sistem pemerintahan yang melayani, mengayomi, memberi optmisme dan pencerahan kepada masyarakat yang mengalami keterpurukan ekonomi yang panjang.
Pemilihan Umum yang berkualitas merupakan manifestasi dari sistem pemerintahan negara yang demokratis yang berupaya membawakan aspirasi rakyat lewat perwakilan. Bila segala persyaratan penyelenggaraan terpenuhi, maka akan benar-benar terasa bahwa Pemilu adalah ''pesta'' demokrasi yang mengantarkan pada terwujudnya good governance.
Share:

ESENSI PEMILU

Penulis :
Berdasarkan konvensi Montevideo[1] tahun 1933, rakyat diakui sebagai salah satu entitas penting berdirinya Negara.Negara tidak bisa berdiri, kokoh dan kuat tanpa rakyat yang menjadi penopangnya. Rakyatlah yang berdaulat sehingga Negara pada akhirnya mendapatkan pengakuan oleh Negara lain sehingga memiliki kedaulatan ke dalam maupun ke daulatan keluar.
 Bersamaan dengan itu ditegaskan pula oleh para pemikir teori berdirinya Negara seperti Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jeacques Rousseau dalam teori perjanjian (puctum subjectionis, puctum unionis) rakyat tidak sepenuhnya, haknya diserahkan/ digadaikan kepada sang “raja” atau penguasa yang sedang menanggung amanat rakyat. Ada hak-hak dasar yang tidak bias dirampas oleh raja dalam melaksanakan amanat rakyat, sebagai tindak lanjut mengatur kekuasaan dan cara menyalurkan tugas lembaga-lembaga Negara itu.
Dari pemahaman itulah muncul konsep demokrasi dan Negara hukum.Demokrasi dan Negara hukum setali tiga uang bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena demokrasi tanpa hukum maka akan terjadi kesewenang-wenangan. Raja akan memanipulasi kepantingan rakyat tersebut hanya untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan semata.
Dalam sebuah episode perjalanan panjang, milenesto demokrasi tidak lahir begitu saja.Berawal dari pemikir demokrasi yang mengkritik sistem pemerintahan yang cenderung despotis, hingga raja dengan merasa tulus akhirnya melepaskan sikap otoritariannya, agar lebih dominan mengutamakan kepentingan rakyat dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
Negara jaga malam(nachwaterstaat) yang hanya mengatur masalah ketertiban diformat dalam konsep lebih menitikberatkan pada kepentingan kesejahteraan rakyat.Konsep tersebut menjadi dasar pembentukan Negara-negara kesejahteraan, dari Negara maju hingga Negara berkembang.Tentu dikenal kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum sebagai bahagian perjuangan mencari pemerintahan yang ideal.
Kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum adalah dua jenis kedaulatan yang hingga akhir ini tidak pernah habis untuk diperbincangkan.Dalam mencari format yang dapat mengkombinasikan keduanya. Kedaulatan rakyat adalah cikal bakal lahirnya konsep demokrasi, sementara kedaulatan hukum cikal bakal yang melahirkan nomokrasi: nomos dan cracy(Negara hukum/ recht staat/ rule of law).Sehingga antara demokrasi dan nomokrasi tidak dapat dipisahkan sebagai salah satu teori yang mendasari legitimasi kekuasaan dapat menjalankan pemerintahan yang tidak despotis lagi.
Dalam konteks ini, demokrasi selalu dikatakan sebagai sistem yang tiada duanya atau tidak ada pilihan lain untuk menggunakannya sebagai salah satu sistem pemerintahan yang baik. Karena tidak ada sistem pemerintahan yang lebih layak dan baik, yang dapat digunakan selain demokrasi.
Demokrasi secara istilah berasal dari kata demos dan cratein. Demos berarti rakyat, sedangkan cratein berarti pemerintahan.Dengan demikian demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan kepentingan rakyat.Semata-semata semua kepentingan rakyat tersublimasi melalui perwakilannya di lembaga Negara.Di ranah ini pulalah terbagi demokrasi dalam bentuk demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung.Oleh pemikir atau Mazhab Frankfrut juga memunculkan demokrasi yang dikenal sebagai demokrasi deliberatif.Adalah demokrasi yang menjunjung partisipasi rakyat tanpa memutus peran rakyat dalam setiap penyusunan kebijakan pemerintahan. Hinngga antara pemerintah dan rakyat terbangundalam  komunikasi yang partisipatoris.
Menurut Fransisco Budi Hardiman[2] mendefeniskan demokrasi deliberatif berarti bukanlah jumlah kehendak individual dan juga bukan sebuah kehendak umum yang merupakan sumber legitimitas, melainkan sumber legitimasi itu adalah proses formasi deliberatif, argumentatif diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka untuk revisi.
Apayang diungkap oleh Budi Hardiman, legitimitas sebuah aturan adalah membutuhkan uji kelayakan publik, agar tidak memicu keguncangan terhadap partsipan hukum. Ketika aturan itu diterapkan.Oleh sebab itu Yudi Latif[3] menegaskan bahwa demokrasi deliberatif dalam menjalankan keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi empat syarat.Pertama, harus didasarkan pada fakta, bukan hanya berdasarkansubjektivitas ideologis.Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan.Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan pada demi kepentingan jangka pendek politik dagang sapi yang bersifat kompromistis. Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif. Dalam model itu,legitimasi demokrasi tidak  ditentukan oleh seberapa banyak dukungan atas suatu keputusan, melainkan seberapa luas dan dalam melibatkan proses deliberasi.
Jika diperhatikan baik, demokrasi deliberatif lebih banyak menyoroti pada pengambilan keputusan, atau pada penciptaan Undang-undang yang akan mengatur semua kebijakan baik yang menentukan tugas dan kewenangan semua lembaga Negara maupun regulasi yang dibentuk untuk tujuan hukum materil (seperti hukum pidana dan perdata) ataukah  peraturan yang sifatnya umum abstrak, dikenal sebagai regeling dalam klasifikasi aturan berdasarkan Ilmu Hukum Administrasi Negara.
Berbeda dengan demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung lebih erat membahas materi pengisian jabatan dalam lembaga Negara. Apakah secara langsung atau secara tidak langsung ?menjadi wakil atau penyalur aspirasi rakyat. Pada posisi yang demikian demokrasi menjadi teori yang sangat penting untuk menggerakan cara atau alat melalui pemilu dapat mewujudkan demokrasi yang seutuhnya tercipta berdasarkan keputusan dan kemauan rakyat.
Tidak ada cara atau sarana lain yang dapat digunakan selain pemilu yang dapat mengejawantahkan teori perjanjian rakyat kalau bukan melalui pemilu. Dan semua Negara yang mengakui dan menganut demokrasi di dunia  melaksanakan pemilu agar dapat mewujudkan demokrasi. Hal tersebut menyebabkan tesis Fukuyama[4] tidak ada yang dapat membantahnya kalau demokrasi liberal sebagai puncak kemenangan yang ahirnya dianut oleh Negara berkembang, bahkan Negara Islampun diakui oleh Fukuyama pada akhirnya juga akan menganut demokrasi.
Sumber; politik.kompasiana.com
Sumber; politik.kompasiana.com
Pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai anak kandung demokrasi yang dijalankan untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat dalam fenomena ketatanegaraan. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Melalui pemilu pula dapat terwujud dua konsep demokrasi dan Negara hukum yang telah diamanatkan dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945).Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 2 “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang.Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 3 ditegaskan “Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum.”
Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dipahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government).Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif.
Menurut Robert Dahl[5], bahwa pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis.
Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.
Di dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut.Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat.Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat.
Pemilihan umum mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pemilu sebagai sarana legitimasi politik. Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dalam sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku.Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya.Dengan begitu, pemerintah, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg[6], fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan poltik massa dari yang bersifat sporadik dan dapat membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa.Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat.Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warganegara. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya (Edelman, 171, Easton, 1965, Shils 1962, Zolberg, 1966). Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya.
Gramsci[7] bahkan menunjukkan bahwa kesepakatan (consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan pelestarian legitimasi dan otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi.Terkait dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrasi itu sendiri.
Pemilihan akan sistem pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi, kebanyakan dari sistem pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena dipilih, melainkan karena kondisi yang ada di dalam masyarakat serta sejarah yang mempengaruhinya. Untuk menguraikan substansi dalam pemilu, selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan lebih lanjut pendefenisian pemilihan umum.[8]
Dari berbagai pendekatan dan sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Namun intinya pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu tidak lain merupakan instisari dari pada demokrasi.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan umum pada bagian pertimbangan, menimbang bahwa untuk memilih anggota dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pemilihan umum sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang aspiratif, berkulitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945. Selanjutnya pada bagian pertimbangan yang lain, dibentuk UU ini (bagian b) bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannnya suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur.
Demikian juga dalam Bab I ketentuan umum ditegaskan bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bedasarkan pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam pernyataan umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 21 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya secara langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara bebas.
Hak untuk berperan serta dalam pemerintahan ini berkaitan dengan tidak dipisahkan dengan hak berikutnya dalam ayat 2 yaitu: bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh akses yang sama pada pelayanan oleh pemerintahan dalam negerinya.Selanjutnya untuk mendukung ayat-ayat tersebut dalam ayat 3 ditegaskan asas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang melandasi kewenangan dan tindakan pemerintah suatu Negara yaitu: “kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan pemerintah; kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam pemilihan-pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum dengan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara bebas.”
Pernyataan umum Hak Asasi Manusia PBB Pasal 21 tersebut di atas, terutama Pasal 3 merupakan penegasan asas demokrasi yaitu bahwa kedaulatan rakyat harus menjadi dasar bagi kewenangan pemerintahan dan kedaulatan rakyat melalui suatu pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Pemilu kini telah menjadi token of membership bagi sebuah Negara jika ingin bergabung dalam sebuah masa peradaban yang bernama demokrasi. Dalam konteks ini pemilu adalah salah satu ornament paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi pilihan yang nyaris bagi penyelenggaraan Negara. Pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi derajat partsipasi politik di sebuah Negara.Pemilu menjadi arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat untuk dipilih.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota. Setelah amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk langsung dipilih oleh rakyat, sehingga Pilprespun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama kali dalam pemilu Tahun 2004.Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Meskipun di tengah masyarakat kadang istilah Pemilu lebih banyak merujuk kepada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan setiap lima tahun sekali.
Penting juga untuk menjadi catatan dalam membahas masalah pemilu, yakni prinsip yang dianut dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu yang dilaksanakan secara luber dan jurdil, yang mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil.
Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Umum berarti pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia yang berumur 17 tahun atau telah pernah kawin berhak ikut memiilih dalam pemilihan umum. Sedangkan warga Negara yang berumur 21 tahun berhak untuk dipilih.
Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku secara holistik bagi semua warga Negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasarkan misalnya acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.[9]
Bebas berarti setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapapun.Di dalam melaksanakannya setiap waga Negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan.Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, penyelenggara, pelaksana, pemerintah, partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang brelaku. Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecuarangan dari pihak manapun.
Akhirnya dari semua penjelasan tentang pemilihan umum di atas, membincangkan ranah pemilu sebagai perwujudan Negara demokrasi dan Negara hukum adalah perbincangan yang tidak akan ada ujung pangkalnya. Pemilihan umum seringkali disangkutpautkan dengan pesta demokrasi, ketika semua rakyat dari berbagai lapisan dan struktrur sosial berbondong-bondong baik secara personal maupun komunal (Partai) turut serta dalam menentukan pemimpin atau wakil rakyat untuk memimpin roda pemerintahan secara arif dan bijaksana.
Dalam mekanisme pemilu tersebut mulai dari pendaftaran pemilu, penentuan DCS, DCT, penyusunan DPS, penyelenggaraan kampanye, sampai pada perhitungan hasil pemungutan suara tidak sedikit memunculkan sengkarut dalam masalah penegakan hukum pidana pemilu. Oleh sebab itu Undang-undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD tidak hanya mengatur masalah pengadministrasian data pemilih, data hasil perhitungan suara, data peserta pemilu. Melainkan juga berada dalam ruang lingkup hukum pidana.
Sejauh ini dalam KUHP juga sudah diatur masalah atau ketentuan tindak pidana pemilu. Namun lex specialis memberi tindak pidana khusus dalam hukum pidana pemilu melaluiUndang-undang Pemilu, yang sengaja diintegrasikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dengan tujuan menjalankan prinsip demokrasi dan pemilu yang transparan, jujur, adil, proprsional. Tentunya dengan mekanisme Hukum Acara Pidana yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang Pemilu. Seperti pelaporan tindak pidana pemilu kepada Panwaslu atau Bawaslu hanya dalam jangka waktu 7 hari, dalam Undang-undang tersebut ditambah waktunya dibandingkan undang-undang sebelumnya, yang  hanya dalam jangka waktu tiga hari diberikan kepada pelapor untuk melaporkan tindak pidana pemilu jika diketahui adanya pelanggaraan maupun  kejahatan dalam penyelenggaraan pemilu.
Permasalahan lain yang menjadi rumit dalam penegakan hukum pidana pemilu adalah bukan hanya mengatur masalah pelanggaran yang terjadi pada masa kampanye. Melainkan mulai semua dari tahapan penyelenggaraan pemilu. Oleh karena pemilu hanya dapat dikatakan sukses jika melewati dua tahap yaitu tahap proses dan tahap hasil.  Menurut Guy S. Goodwin Gill[10] ada sepuluh rangkaian dalam proses pemilu yang rentang mendatangkan masalah diantaranya:
  1. Sistem dan undang-undang pemilu.
  2. Pembatasan konstituen.
  3. Pengelolaan pemilu
  4. Hak pilih.
  5. Pendaftaran  pemilih.
  6. Pendidikan kewarganegaraan dan informasi kepada pemilih.
  7. Calon, partai, dan organisisi politik, termasuk pedanaan.
  8. Kampanye pemilu termasuk perlindungan dan penghormatan HAM, pertemuan politik dan akses serta liputan media.
  9. Pencoblosan, pemantauan dan hasil pemilu
  10. Penanganan pengaduan dan penyelesian sengketa.
Jika diringkas ke sepuluh tahap tersebut maka hanya terbagi tiga yaitu prahari pemilu, hari “H” pemilu itu sendiri dan pasca pemilu.Pada bagian atau ketiga tahapan ini penegakan hukum pidana jika dicermati dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 telah mengatur beberapa model tindak pidana pemilu yang diatur di dalamnya.
Berbeda halnya dengan  Office for Democratic Institutions and Human Right[11]dalam mewujudkan pemilu yang demokratis persolan yang terbesar dihadapi selain masalah peraturan pemilu atau UU Pemilu yang disebut electoral law juga sangat dipengaruhi oleh wilayah electoral proses yang meliputi Sembilan komponen yaitu pengaturan daerah pemilihan (districting), administrasi pemilu (election administration), hak pilih dan pendaftaran pemilih (suffrage right and voter registration), pendidikan kewarganegaraan  dan informasi pemilih (civis education and voter informative), kandidat, partai politik dan pendanaan kampanye (candidates, political parties and campaign spending), akses media dan perlindungan kebebasan berbicara dan berekspresi di dalam kampanye (media accses and protection of speech and expression in electoral campaign) pemungutan suara (balloting), pemantauan pemilu (election observation) dan penyelesaian sengketa pemilu (resolution of election dispute)
 Masih berkaitan dengan tahapan penyelenggaraan pemilu, bukan hanya bagian kompetensi Pidana saja, melainkan juga terdapat pelanggaraan administrasi yang diproses oleh KPU dan Bawaslu/ Panwaslu, pelanggaran Pidana yang melalui tahapan hukum acara pemeriksaan KUHAP, dan  masalah hukum yang diselesaikan oleh MK terkait masalah hasil perhitungan suara oleh KPU.
Oleh karena itu ke depannya dengan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012, sebagai pedoman untuk persiapan pemilu 9 April 2014 mendatang. Perlu diidentifikasi tindak pidana pemilu apa saja yang ada dalam Undang-undang tersebut dan formulasi kebijakan apa yang perlu diterapkan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu di masa mendatang, proses penyelesaian tindak pidananya yang masih lemah, sehinggga penegakan hukum pidana pemilu dirasa belum berjalan efektif.

[1] Menurut konvensi Montevideo (sebuah kota di Uruguay) tahun 1933, merupakan konvensi hukum internasional, dimana Negara mempunyai empat unsur konstitutif meliputi:
  1. Harus ada penghuni (rakyat, penduduk, warga Negara)
  2. Harus ada wilayah tertentu atau lingkungan kekuasaan
  3. Harus ada kekuasaan tertinggi (penguasa yang berdaulat) pemerintah yang  berdaulat.
  4. Kesanggupan berhubungan dengan Negara-negara lainnya.
  5. Pengakuan (deklaratif)
Lihat dalam Samidjo, 1986, Ilmu   Negara, Bandung, Armico, Hlm.  34.
[2] F. Budi Hardiman, 2009, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta, Kanisius, Hlm. 129.
[3]Majalah Prisma, Vol 28 Juni 2009, Hlm. 23.
[4] Francis Fukuyama, 2001, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta, Qalam, Hlm. 79
[5]Abdul Aziz Hakim, 2011.Negara Hukum dan Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 177
[6] Benyamin Ginsberg, 1982, The Consequences of consent: Elections, Citizen control and Popular Acquisecence, Mass:Addison-Wesley Publishing. Hlm. 123
[7] Antonio Gramsci, 1978, Selection from the Prison Notebook, Translation by Q Hoare and N Smith, New York, International Publisher, Hlm. 56.
[8] Muhaimin, 2012, Golput dalam Optik Santri, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 23
[9]Berdasarkan asas umum pemilu tersebut sehingga fungsi pemilu dalam menjalankan kebijakan afirmasi (bukan semata fungsi representasi politik), maka quota perempuan merupakan syarat bagi partai politik dapat lolos dalam verifikasi adminitrasi agar dapat menjadi peserta pemilu berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 2012.Kajian peran perempuan dalam politik diulas secara lengkap oleh Ani Soetjipto, 2011, Politik Harapan (Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi), Tangerang, Marjin Kiri.
[10] Burhanuddin Muhtadi, 2013, Perang  Bintang 2014,  Bandung, Noura Books. Hlm. 49.
[11] Jenedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm. 76

( Sumber : http://www.negarahukum.com/hukum/esensi-pemilu.html )

Share:

Selasa, 24 Mei 2016

MEMAHAMI DEMOKRASI

MEMAHAMI KEHIDUPAN BERNEGARA
Untuk memahami bagaimana demokrasi itu, akan mudah jika dilihat variasi praktik kehidupan bernegara. Hal itu dapat dilihat dari pola kehidupan di berbagai Negara yang ada. Dan, perjalanan hidup bernegara kita di Indonesia juga bisa memberikan gambaran bagaimana dinamika kehidupan demokrasi itu. Meskipun sejak awal Indonesia menyatakan diri sebagai negara demokrasi, praktiknya kita pernah mengalami masa-masa pemerintahan yang otoriter dan bahkan totaliter. Jika sekarang katanya keran demokrasi telah dibuka, benarkah Indonesia sudah demokratis?
Hernawan dan Masdar (2000) mengklasifikasi jenis-jenis negara dan bentuk kehidupannya seperti di bawah ini.
  • NEGARA OTORITER (authoritarian state), contohnya adalah negara berbentuk dalam kerajaan (Arab, Kuwait) dan junta militer (Myanmar). Cirinya adalah:
    • Rakyat tidak boleh berpolitik, tidak boleh membuat partai
    • Opisisi tidak dibolehkan, mengkritik pemerintah dilarang
    • Pemerintah mempunyai kepentingan sangat kecil terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari
  • NEGARA TOTALITER (totalitarian state), contohnya adalah negara yang dipimpin oleh penguasa-penguasa totaliter seperti Hitler (Jerman), Joseph Stalin (Uni Sivyet), Duvalier (Haiti). Cirinya adalah:
    • Pemerintah mempunyai kekuasaan tidak terbatas
    • Pemerintah tidak mentoleransi oposisi
    • Pemerintah mengokontrol ketat warga negaranya
    • Pemerintah totaliter bisa berbentuk (1) rezim otokrasi (pemerintah oleh kelompok kecil), (2) rezim diktator (pemerintah oleh 1 orang)
  • NEGARA DEMOKRATIS adalah Negara dengan suatu pemerintahan yang membolehkan warga memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan serta memilih/menolak pemimpin-pemimpin politik
PENGERTIAN DASAR DEMOKRASI
Pemahaman dasar dari demokrasi, yang paling terkenal adalah yang diletakkan oleh Abraham Lincoln (1809-1865). Lincoln adalah Presiden Amerika Serikat. Menurut catatan Ensiklopedi Indonesia (1983), dalam perang saudara yang terjadi di AS, ia menunjukkan kebesaran kepemimpinannya. Pada 1 Januari 1863 ia menandatangani Proklamasi Emansipasi yang berisi penghapusan perbudakan. Ia juga berupaya supaya penghapusan itu dinyatakan dengan Undang-undang dasar oleh Congress dan usaha itu tercapai pada 1865. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang terlontar dalam pidato-pidatonya yang hebat. Beberapa pidatonya yang masyur adalah pidato yang disampaikannya di makam Gettysburg (19 November 1863) dan pidato pelantikannya yang kedua (4 Maret 1865)
Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (government of the people, by the people, for the people) yaitu sebagai berikut:
  • Pemerintahan dari rakyat (government of the people). Artinya keputusan-keputusan politis yang menyangkut kehidupan rakyat ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, caranya adalah rakyat memilih pemimpin (presiden, gubernur, bupati) dan DPR melalui PEMILU yang bebas dan fair (jurdil). Pemimpin dan DPR yang terpilih lewat PEMILU yang bebas dan fair mendapat mandate secara sah oleh rakyat (memiliki legitimasi yang kuat).
  • Pemerintahan oleh rakyat (government by the people). Hal itu berarti Pemerintah dijalankan oleh rakyat (oleh pemerintah yang dipilih rakyat) dan rakyat mengawasi jalannya Pemerintah itu. Di Indonesia, pengawasan itu dilakukan oleh DPR/D hasil pilihan rakyat (DPR bersama eksekutif bersama-sama membuat Undang-undang dan DPR mengawasi jalannya pelaksanaan Undang-undang).
  • Pemerintahan untuk rakyat (government for the people). Artinya, pemerintah hasil pilihan rakyat menghasilkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah yang tidak demokratis adalah pemerintah yang mementingkan diri sendiri, mau berkuasa terus, dan korup.
PENGERTIAN-PENGERTIAN YANG BERKEMBANG TENTANG DEMOKRASI
Dalam sejarah dan praktik demokrasi, berkembanglah pengertian-pengertian yang berkaitan dengan demokrasi sebagai berikut (Hernawan dan Masdar, 2000).
  • DEMOKRASI PROSEDURAL (aturan dan tata cara demokrasi), yaitu demokrasi merupakan sistem yang ditegakkan oleh prosedur-prosedur formal yang memungkinkan budaya demokrasi itu berjalan. Aspek prosedural demokrasi itu mencakup adanya PEMILU yang bebas dan adil, adanya DPR, dan adanya lembaga yudikatif yang independen.
  • DEMOKRASI LANGSUNG (direct democracy). Adalah bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Keputusan politik ditentukan oleh warga masyarakat secara langsung dalam suatu pertemu
  • DEMOKRASI SUBSTANSIAL (nilai hakiki demokrasi), yaitu menekankan demokrasi sebagai suatu nilai-nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya. Beberapa nilai hakiki demokrasi adalah seperti kebebasan, budaya menghormati hak dan kebebasan orang lain, adanya pluralisme budaya, adanya toleransi, anti kekerasan, dll.
  • an. Hal itu hanya dimungkinkan terjadi/dilakukan dalam masyarajat kecil. Misalnya, dalam sejarah, dilakukan di negara-kota Yunani kuna. Sekarang dapat juga dilakukan misalnya di kampung atau desa yang kecil. Di tingkat nasional terkadang dilakukan juga jika menyangkut masalah mendasar, bentuknya referendum.
  • DEMOKRASI TIDAK LANGSUNG (indirect democracy). Adalah bentuk pemerintahan di mana pembuatan keputusan politik dijalankan oleh sedikit orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu.Disebut “tidak langsung” karena rakyat tidak langsung terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan itu, tetapi mendelegasikan kekuasaannya kepada para pemimpin dan wakil rakyat yang mereka pilih lewat pemilu
NILAI-NILAI (SUBSTANSI) DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
Nilai-nilai Demokrasi menurut Mayo adalah sebagai berikut (Bahar, 2005; Abdullah Yazid dkk, 2007):
  • Penyelesaian perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peaceful settlement pf conflict)
  • Terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a change society)
  • Terselenggaranya pergantian pimpinan teratur (orderly succession rulers)
  • Pembatasan kekuasan sampai minimum (minimum of coersion)
  • Pengakuan keanekaragaman (diversity) dan menganggap wajar adanya keanekaragaman itu di dalam masyarakat
  • Jaminan tegaknya keadilan
Untuk menjalankan nilai-nilai demokrasi itu diperlukan hal-hal sebagai berikut (Abdullah Yazid dkk, 2007):
  • Pemerintahan yang bertanggungjawab
  • Adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih lewat pemilu
  • Sistem politik multi partai yang dapat menyelenggarakan hubungan kontinu antara masyarakat dan pemimpinnya
  • Pers yang bebas
  • Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin HAM.  Hubungan antara HAM dan demokrasi adalah hubungan MUTUAL RE-ENFORCING, saling memberkuat. Kemajuan kerja politik akan memperkuat perlindungan HAM. Perlindungan HAM akan memperkuat demokrasi. Kemunduran demokrasi akan mempersulit kemajuan HAM dan pada gilirannya akan memerosotkan demokrasi itu sendiri
MEMBANGUN NEGARA DEMOKRASI
Membangun negara demokrasi ternyata tidak mudah. Hal itu karena praktek demokrasi berkaitan langsung dengan sistem politik atau sistem kekuasaan yang bertumbuh dalam sebuah negara. Sejarah mencatat bagaimana para pemimpin atau rezim yang berkuasa cenderung mempertahankan kekuasaannya dan untuk itu melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan asas-asas demokrasi. Apalagi ketika kekuatan rezim ditopang oleh kekuatan militer, rakyat menjadi obyek kekuasaan semata.
Pembangunan demokrasi sebenarnya dimaksudkan untuk tujuan-tujuan sebagai berikut Hernawan dan Masdar (2000).
  • Menyelesaikan persoalan secara damai dan melembaga
  • Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai
  • Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur
  • Membatasi pemakaian kekerasan (demokrasi selalu anti kekerasan)
  • Mengakui dan mengaggap wajar adanya keanekaragaman dan perbedaan dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman  pendapat, pilihan, dst
  • Menjamin tegaknya keadilan
Pembangunan demokrasi tidaklah mudah karena menuntut tumbuhnya lembaga-lembaga sosial politik yang menjadi penopang-penopang demokrasi tersebut. Lembaga-lembaga itu adalah sebagai berikut Hernawan dan Masdar (2000)
  • Pemerintahan yang bertanggungjawab
  • DPR yang dipilih lewat pemilu yang jurdil
  • Sistem dwi partai atau lebih baik multi partai
  • Pers yang bebas
  • Sistem peradilan yang bebas dan mandiri
Peran pers sangatlah penting dalam proses demokrasi. Sekarang pers disebut-sebut sebagai salah satu pilar demokrasi sebab melakukan fungsinya yang sangat penting sebagai lembaga pengontrol pemerintah dan pengawal jalannya demokrasi itu sendiri. Karena itu tidak heran jika dalam pemerintahan yang tidak demokratis pers – misalnya media cetak – sering dibreidel dan diberangus. Bahkan para jurnalis yang kritis diancam dan dibunuh.
PERUBAHAN SOSIAL-POLITIK MENUJU DEMOKRASI
Pembangunan kehidupan yang demokratis pada dasarnya merupakan sebuah proses perubahan sosial/masyarakat. Hal itu berarti membutuhkan agen-agen perubahan (agents oc change) yang memelopori dan menggerakkan perubahan tersebut. Harus ada para pemimpin yang melancarkan pengaruhnya sekaligus memiliki kewenangan strategis untuk membawa perubahan itu.
Seringkali pembangunan demokrasi merupakan sebuah perubahan harus mendisorganisasi sistem-sistem yang ada untuk kemudian direorganisasi menjadi sistem-sistem yang baru. Hal itu seringkali sangat tidak mudah karena sistem lama, misalnya sistem politik otoriter dan totaliter sudah sedemikian kuat dan mengakar. Maka kadang dibutuhkan pemberontakan dan revolusi yang bisa merupakan proses penggulingan kekuasaan atau perebutan kekuasaan oleh rezim demokrasi yang baru.
Hernawan dan Masdar (2000) menjelaskan adanya beberapa pola perkembangan masyarakat/bangsa menuju kehidupannya yang demokratis. Ada 4 model perkembangan yaitu:
  • POLA TRANSFORMASI (Spanyol dan Brazil). Dalam pola ini, demokrasi terbangun  karena  pemimpin yang berkuasa mengambil prakarsa untuk menumbuhkan demokratisasi.
  • POLA REPLACEMENT (Argentina, Portugal). Dalam pola ini, kelompok opisisi memimpin pembaruan demokrasi melalui perjuangan politiknya.
  • POLA TRANSPLACEMENT (Nikaragua, Polandia, Bolivia). Dalam pola ini, demokratisasi terjadi sebagai akibat negoisasi antara pemerintah dengan kelompok oposisi.
  • POLA INTERVENSI (Grenada, Panama). Dalam pola ini, lembaga-lembaga demokratis dibentuk dan dipaksakan berlakunya oleh aktor dari luar
DEMOKRASI: SUBSTANSI ATAU PROSEDURAL?

Sekarang, hampir semua orang berbicara tentang demokrasi. Secara substansial memang demokrasi adalah sistem yang terbaik. Proklamator RI Muhammad Hatta mengatakan bahwa  demokrasi adalah sistem terbaik yang memungkinkan segenap rakyat di suatu bangsa bisa menentukan nasibnya sendiri. Menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), demokrasi adalah sistem yang menjunjung hak-hak dasar manusia atas kehidupan.
Seringkali, juga terjadi di Indonesia, pembaruan demokrasi hanya menekankan aspek proseduralnya dan bukan substansinya. Kita merasa sudah demokratis manakala sibuk menggelar pemilu, pilpres, pilkada, pilgub, pilbub dan seterusnya. Padahal praktik demokrasi prosedural tidak selamanya identik dengan penerapan substansi dari demokrasi itu sendiri.
Meskipun prosedur itu dipraktekkan secara begitu masif, belum tentu kehidupan (substansi) demokrasi itu benar-benar mewujud. Apalagi jika pemilu itu dijalankan dengan berbagai kecurangan dan manipulasi. Itulah sebabnya pula banyak yang golput dan memboikot pemilu yang berarti rakyat tidak sepenuhnya terlihat dalam pembentukan pemerintahan.
Menurut Hernawan dan Masdar (2000), penekanan berlebihan pada demokrasi prosedural dengan kurang memperhatikan aspek substansi demokrasi itu memunculkan beberapa bahaya sebagai berikut.
  • DEMOKRASI PALSU. Demokrasi prosedural sering dimanfaatkan oleh rezim otoriter untuk mengklaim demokratis dengan melaksanakan pemilu, padahal pemilunya itu direkayasa. Rezim semacam itu seolah-olah melaksanakan pemilu tetapi selalu dimanipulasi dan direkayasa sedemikian rupa sehingga pemimpin terpilih selalu itu-itu saja.
  • POLITIK UANG (money politic). Ini sering terjadi karena kelompok (-kelompok) yang haus kekuasaan mencoba mengendalikan rakyat melalui penyogokan berupa uang atau materi lainnya.
  • KETIDAKADILAN. Pada 1970, John Rawls mengkritik demokrasi (”A Theory of Justice), pandangannya: (1) Tujuan pemerintah adalah membentuk masyarakat yang adil (just society) dengan ciri banyak warga Negara yang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, (2) Adapun pemilu belum tentu bisa membentuk kehidupan masyarakat yang adil karena pemilu hanya menghasilkan pemerintahan oleh segelintir orang (oligarkis)
  • KAPITALISME. Demokrasi prosedural diduga merupakan penopang utama pasar kapitalisme internasional yang sangat menguntungkan kelompok elit (baik elit politik maupun elit pemilik modal). Jadi, proses demokrasi merupakan proses ekspansi kapitalisme internasional. Karena itu negara-negara kapitalis sangat mendukung demokrasi prosedural.
DEMOKRASI DAN MILITER
Sebagian orang memandang bahwa demokrasi dan militer tidak cocok. Dalam tradisi militer, keputusan selalu diambil secara top down, komando dari atasan. Sedangkan tradisi demokrasi adalah membebaskan semua orang, seluruh masyarakat berbicara dan berembug bersama. Kebijakan-kebijakan pun berasal dari bawah (bottom up) dan atasan adalah abdi rakyat.
Karena itu menurut Hernawan dan Masdar (2000), ada adagium universal tentang demokrasi mengatakan bahwa akan semakin baik jika militer tidak terlibat terlalu jauh dalam dunia politik. Militer hanya mengurusi soal pertahanan negara dan bukan menjadi kekuatan politik.
Namun tentunya tidak berarti kalau pemimpinnya berasal dari kalangan militer maka negaranya pasti otoriter. Hal itu sangat tergantung dari situasi, kondisi, dan perkembangan yang ada.
DEMOKRASI DAN AGAMA
Dalam negara agama (teokrasi), demokrasi tidak dikembangkan karena kekuasaan dan wewenang bersifat komando dari atas. Pemimpin dianggap sebagai wakil Tuhan dan diberi kekuasaan penuh. Rakyat atau umat hanyalah boleh taat kepada pemimpin yang bersifat karismatis itu.
Menurut catatan Hernawan dan Masdar (2000), demokrasi di negara-negara berbasis agama tidak berkembang subur karena:
  • Banyak negara agama tidak memiliki parlemen, kalaupun ada hanya sebagai lembaga konsultatif saja, tidak menjalankan fungsi legislatif (membuat/mengajukan undang-undang)
  • Banyak negara agama tidak mempunyai partai politik
  • Banyak negara agama tidak memberi hak pilih bagi perempuan
DEMOKRASI DAN HUKUM
Menurut Daliyo dkk (1989), hukum pada dasarnya adalah (1) peraturan tungkah laku manusia, (2) yang diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib, (3) yang bersifat memaksa, harus dipatuhi, (4) dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar peraturan tersebut (sanksi itu pasti dan dapat dirasakan nyata bagi yang bersangkutan).
Dengan demikian, negara hukum adalah negara di mana setiap tindakan dari pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara terhadap rakyatnya harus berdasar hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat / wakilnya dalam badan perwakilan rakyat
Negara hukum memungkinkan demokrasi berjalan karena hukum yang baik pastilah menjamin hak-hak asasi (HAM) masyarakat.
Dari konsep tentang negara hukum itu muncullah konsep tentang DEMOKRASI KONSTITUSIONAL, artinya demokrasi modern selalu hadir dalam wadah negara hukum dengan beberapa prinsip sebagai berikut (Hernawan dan Masdar, 2000)
  • Ciri demokrasi konstitusional adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat/warga negara
  • Jadi, dalam Demokrasi konstitusional, “pemerintah berdasar konstitusi” (constitutional government) atau ”pemerintah dengan kekuasaan terbatas” (limited government / restrained government)
DEMOKRASI DAN PEMILU
Demokrasi mempunyai dua aspek, substansial (nilai hakiki) dan prosedural (prosedur pelaksanaannya). Pemilu adalah aspek demokrasi prosedural yang mempunyai tujuan sebagai berikut (Hernawan dan Masdar, 2000):

  • Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum
  • Sebagai mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan perwakilan rakyat sehingga integrasi masyarakat terjaga
  • Sebagai sarana memobilisasikan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik
DEMOKRASI DAN PERWAKILAN RAKYAT
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Munculnya Dewan Perwakilan Rakyat adalah manifestasi dari demokrasi  itu. DPR adalah lembaga yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilu untuk menjalankan aspirasi mereka dengan tugas membuat undang-undang dan mengawasi pemerintah yang menjalankan undang-undang itu
Ada 2 sistem parlemen
  • Badan legislatif yang terdiri dari 1 majelis (unikameralisme)
  • Badan legislatif yang terdiri dari 2 majelis (bikameralisme)
    • Di sini lembaga legislatif dibagi dalam Majelis Rendah (lower house) dan Majelis Tinggi (upper house atau senat)
    • Negara federal bisa memakai sistem bikameral karena satu di antaranya mewakili kepentingan negara-negara bagian

DEMOKRASI DAN KEADILAN GENDER
Demokrasi pada prinsipnya adalah sistem pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini kaum wanita sering merupakan bagian dari rakyat yang kurang dilibatkan karena berbagai alasan. Di beberapa negara bahkan wanita tidak diberi hak untuk memilih dalam pemilu. Karena itu hak-hak keterlibatan wanita dalam demokrasi harus diperjuang dengan berbagai cara seperti mendirikan parpol wanita atau menuntut sistem quota di mana posisi-posisi dalam lembaga-lembaga negara diisi oleh kaum perempuan.
Dalam hal kemajuan pergerakan perempuan, keterlibatan wanita dalam politik, dan keterwakilan wanita dalam parlemen, kita perlu belajar banyak dari Swedia dan India. Perjuangan di Swedia memang sudah lama. Pada tahun 1884 sudah ada diskusi tentang hak pilih dan kemungkinan wanita duduk di parlemen. Pelopor pejuang hak politik kaum wanita Swedia ternyata justru seorang pria bernama Fredrik Borg. Pada tahun 1970, kuota perempuan dalam parlemen Swedia adalah 10%. Pada Pemilu 1988, 131 orang dari 349 anggota parlemen Swedia adalah perempuan (38%). Pada tahun 2002, naik menjadi 45%, berarti lebih tinggi dibanding di Amerika Serikat dan Inggris. Kini, hampir 50% menteri di Swedia adalah wanita. Bahkan, Menteri Pertahanan pun adalah seorang perempuan. Keterlibatan aktif kaum wanita di kancah politik terbukti meningkatkan kesejahteraan dan keadilan gender di negeri feminis tersebut.
India juga masih lebih maju ketimbang Indonesia. Kaum wanita memperjuangkan hak-hak politik mereka melalui jalur konstitusi. Kita perlu meniru, sebab di India sudah berkembang perundang-undangan yang secara sangat tegas menjamin hak-hak kaum wanita dan mendorong keterlibatannya dalam politik nasional. Pada tahun 1976 berdiri komite khusus untuk wanita (Committee on the Status of Women in India) yang memperjuangkan keadilan sosial-ekonomi kaum wanita dan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik. Pada tahun 1988, visi mereka diakomodir oleh Pemerintah dan diimplementasikan dalam Perencanaan Nasional untuk Perempuan (National Perspective Plan for Woman). Sementara itu, Amandemen Undang-undang Dasar India pada tahun 1993 menyertakan jaminan untuk kuota 30% perempuan dalam lembaga-lembaga pemilihan publik.
(cuplikan artikel opini Haryadi Baskoro yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 22 Desember 2008)
DEMOKRASI DAN OPOSISI
Dalam negara yang bersifat otoriter dan totalitas, semua pihak yang berseberangan apalagi melawan pemerintah dilarang dan ditumpas. Demonstrasi tidak diperbolehkan. Pers dan tulisan-tulisan yang bersifat mengkritisi pemerintah dibreidel. Tidak boleh ada golongan atau kelompok oposisi.
Dalam sistem demokrasi, opisisi dibolehkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut (Hernawan dan Masdar, 2000)
  • Sikap,yaitu sikap-sikap kritis yang memungkinkan suatu kekuasaan dijalankan dan dialokasikan untuk kepentingan yang sesuai dnegan kehendak si pemberi kekuasaan (rakyat).
  • Institusi, yaitu oposisi yang terlembagakan dalam partai-partai politik (partai opisisi) Partai opisisi dapat melakukan (1) Kritik terhadap pembuatan kebijakan yang menyimpang, (2) Kontrol terhadap perbuatan kebijakan yang menyimpang, (3) Mendukung kebijakan yang baik, jadi tak selamanya berarti melawan pemerintah

DEMOKRASI DAN PERS

Sekarang dikenal teori baru tentang 4 pilar demokrasi di mana pers merupakan salah satunya. Keempat pilar demokrasi itu adalah:

  • Lembaga Eksekutif
  • Lembaga Legislatif
  • Lembaga Yudikatif
  • PERS
Fungsi Pers dalam sistem demokrasi adalah sebagai berikut Hernawan dan Masdar, 2000)
  • Fungsi mediasi. Aspirasi rakyat yang tidak bisa diartikulasikan oleh lembaga-lembaga formal demokrasi bisa diartikulasikan lewat pers
  • Fungsi sosialisasi. Kebijakan pemerintah yang tidak bisa disosialisikan secara cepat melalui lembaga-lembaga milik pemerintah bisa disosialisasikan lewat pers
  • Fungsi kontrol. Fungsi kontrol parlemen yang tidak maksimal ditutup oleh fungsi kontrol yang dijalankan pers
PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia, berikut ini adalah beberapa poin yang disarikan dari Hernawan dan Masdar (2000) serta M. C. Ricklefs (2008) sebagai berikut.
  • Para pemimpin Indonesia, yaitu dwi tunggal proklamator RI (Soekarno-Hatta) sebenarnya mempunyai dua pendirian yang berseberangan.  Kubu Soekarno lebih menekankan paham kesatuan bangsa (integralisme) yang cenderung menolak demokrasi karena sistem parlementer Barat dianggap sebagai bentuk tirani mayoritas dan demokrasi borjuis. Soekarno ingin adanya sistem partai tunggal. Sedangkan kubu Hatta menekankan prinsip kedaulatan rakyat dan kebebasan yang nyata yang terjelma dalam sistem parlementer.
  • DEMOKRASI PARLEMENTER (1945-1959). Sistem ini berkembang berkat usaha bung Hatta. Pada 3 Nov 1945, Hatta mengeluarkan maklumat berisi seruan untuk membentuk partai-partai politik (sistem multi partai) dengan tujuan mempertahankan kemajemukan bangsa. Demokrasi parlementer ini dilegitimasi dan diperkuat dengan UU RIS 1949 dan UUDS 1950. Masalahnya, elit politik tak siap dengan pola demokrasi itu, terlalu banyak konflik kepentingan sehingga (1) koalisi parpol yang dibangun tidak pernah solid, (2) parpol mudah sekali menarik dukungan terhadap koalisi yang sudah dibangun, (3) golongan opisisi cenderung hanya bersikap negatif. Demokrasi parlementer berakhir karena dirasa tidak membawa kebaikan, konflik tiada henti, ekonomi terpuruk, dan masalah dasar negara tidak pernah final. Maka, Soekarno dengan dukungan TNI AD mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (kembali ke UUD 1945)
  • DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1965). Kekacauan akibat ketidaksiapan dan ketidakdewasaan sipil dalam berdemokrasi pada era demokrasi parlementer mendorong militer masuk ke dunia politik di mana Soekarno menjadi pemimpin besarnya. Maka, demokrasi pada era 1959-1965 dicirikan oleh dominasi yang sangat kuat dari Presiden (Soekarno) dan militer. Istilah ”demokrasi terpimpin” sebenarnya hanyalah sebuah istilah atau retorika politik, prakteknya adalah penyimpangan demokrasi:
    • Presiden Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup (Tap MPRS No. 3 tahun 1963)
    • Pada 1960, Soekarno membubarkan DPR
    • Presiden lalu membentuk DPR Gotong Royong (DPRGR) yang semua anggotanya diangkat Pemerintah dengan tugas membantu presiden (bukan menjalankan fungsi kontrol)
    • Pimpinan DPRGR dijadikan menteri (bertentangan dengan azas trias politica)
    • Presiden berwenang mengintervensi lembaga yudikatif (berdasar UU No 19 tahun 1964)
    • Presiden berwenang mengintervensi lembaga yudikatif (berdasar Tata Tertib Peraturan Presiden No 14 tahun 1960)
  • DEMOKRASI PANCASILA (1965-1999). Dengan alasan kegagalan sistem Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, Soeharto tampil dengan konsep barunya berupa Demokrasi Pancasila. Demokrasi Orde Baru ini lahir dari retorika politik bahwa Indonesia harus melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Secara prosedural, Demokrasi Pancasila sepertinya berjalan baik (ada pemilu, ada DPR, ada lembaga yudikatif, dan ada pers). Namun secara substansial, Demokrasi Pancasila ala Soeharto itu tak ada bedanya dengan Demokrasi Terpimpin yang otoriter. Bahkan menjadi sebuah ”demokrasi palsu” karena Pemilu yang diadakan periodik sudah direkayasa sehingga parpol tertentu selalu memang (mayoritas tunggal) dan Lembaga Yudikatif yang seolah independen ternyata di bawah kontrol pemerintah.Demokrasi Pancasila tumbang setelah Soeharto lengser pada 1998 dan muncul sistem pemilu multi partai (7 Juni 1999)
  • DEMOKRASI MASA REFORMASI (1999-….). Sistem baru ini merupakan usaha untuk mengkoreksi sistem-sistem demokrasi yang pernah diterapkan, disalahgunakan, dan gagal di Indonesia. Demokrasi Reformasi ini dimulai dengan dikembangkannya sistem pemilu multi partai 7 Juni 1999 mirip pemilu 1955. Dalam perkembangannya, masih hanya menekankan aspek-aspek prosedural dan masih kurang mewujudkan substansi dari demokrasi itu sendiri.
Share:

Recent Posts

Portal Berita Online


Diberdayakan oleh Blogger.

Look!

games

Flag Counter

Total Tayangan Halaman

 
Selamat datang di blog saya, Terima kasih telah berkunjung di blog saya.. Semoga anda senang!!
- See more at: http://blogharun26.blogspot.co.id/2013/07/cara-membuat-tulisan-berjalan-melayang.html#sthash.C3owDUfr.dpuf